BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Seorang pemimpin membutuhkan banyak kecakapan di berbagai
bidang. Pemimpin merupakan aktor utama yang menjalankan sumber daya yang ada
untuk mencapai keberhasilan dalam organisasi, seperti yang di ungkapkan oleh
Sondang P. Siagian (2003) menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah “Motor atau daya penggerak
semua sumber-sumber dan alat-alat (resources) yang tersedia bagi suatu
organisasi”. Seorang pemimpin harus mampu menjaga kekuasaannya karena dalam
kepemimpinan selalu ada yang berkuasa dan yang dikuasai.
Di
Indonesia banyak pemimpin yang tidak memenuhi standar kecakapan yang diperlukan
oleh pemimpin. Hal ini menyebabkan kepemimpinan tidak berjalan dengan lancar
karena pemimpin mempunyai kendala dalam memutuskan kebijakan. Kecakapan
seorang pemimpin, sebagai contoh adalah kasus kepala daerah yang memenangkan
pemilihan umum kepala daerah di daerah lain. Hal ini membuktikan indikasi
apakah kepala daerah itu bisa dinaturalisasi? Dan mungkinkah naturalisasi ini
mampu menjadikan kepala daerah menjalankan kewajiban dan tugasnya selayaknya
kepala daerah yang diharapkan?
Selama ini
naturalisasi terdengar awam dengan hubungannya sepakbola/atlet dan perpindahan
kewarganegaraan. Secara Umum, Naturalisasi adalah proses perubahan status dari
penduduk asing menjadi warga negara suatu Negara. Proses ini harus terlebih
dahulu memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan dalam peraturan
kewarganegaraan Negara yang bersangkutan (www.id.wikipedia.org
). Pengertian sempit dari naturalisasi kepala daerah adalah naturalisasi dalam
pemilihan kepala daerah, dimana kandidat kepala daerah bukan hanya berasal dari
putra asli daerah, tetapi juga berasal dari luar daerah di Indonesia.
Naturalisasi dalam konteks ini adalah penerimaan sosok warga daerah lain
sebagai pemimpin bagi komunitas lokal dimana saja dalam kerangka NKRI.
“ Jika kepala daerah dari putra asli daerah saja
belum tentu mensejahterakan daerahnya apalagi kepala daerah dari luar daerah”
kutipan tersebut sering terdengar dalam perbincangan masyarakat ataupun para
penggerak masa yang kontra terhadap naturalisasi kepala daerah. Namun,
akhir-akhir ini naturalisasi dipandang hal yang biasa dan bahkan didukung
khalayak, pasalnya hal ini memiliki kelebihan antara lain : semua kepala daerah yang dinaturalisasikan
secara masif oleh rezim berkuasa, mau atau tidak harus bekerja keras supaya
mampu menampilkan kinerja positif sebelum diganti oleh kandidat lain yang lebih
bagus dan mau tidak mau mereka bekerja dengan baik agar tidak dinilai gagal oleh
pemberi mandate. Dan contoh yang paling booming
tentang kepala daerah yang mendapat
citra baik di daerah lain dalam kepemimpinnya yaitu kasus Jokowi-ahok.
Dengan melihat
fenomena-fanomena yang ada di Indonesia, penulis tertarik untuk mengangkatnya
dalam sebuah makalah yang berjudul “Mungkinkah Kepala Daerah di Naturalisasi?”
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada pemerintah akan pentingnya seorang
pemimpin yang benar-benar berkualitas dalam memimpin negeri ini. Diharapkan
juga kepada masyarakat untuk lebih cerdik dan cermat untuk memilih seorang
pemimpin yang akan memimpin daerahnya sehingga dalam kepemimpinan tidak akan
merugikan baik pemerintah maupu masyarakat.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
permasalahan diatas,
maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah
Mungkinkah Kepala Daerah di Naturalisasi?
BAB II
PEMBAHASAN
Naturalisasi
adalah proses perubahan status dari penduduk asing menjadi warga negara suatu
Negara. Proses ini harus terlebih dahulu memenuhi beberapa persyaratan yang
ditentukan dalam peraturan kewarganegaraan Negara yang bersangkutan. Hukum
naturalisasi di setiap negara berbeda-beda. Di Indonesia, masalah
kewarganegaraan saat ini diatur dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2006 (www.id.wikipedia.org). Sedangkan naturalisasi
kepala daerah adalah naturalisasi dalam pemilihan kepala daerah, dimana
kandidat kepala daerah bukan hanya berasal dari putra asli daerah, tetapi juga
berasal dari luar daerah di Indonesia. Naturalisasi dalam konteks ini adalah
penerimaan sosok warga daerah lain sebagai pemimpin bagi komunitas lokal dimana
saja dalam kerangka NKRI. Tujuannya untuk mewujudkan keindonesiaan yang
sesungguhnya, jauh dari sekat perbedaan hanya karena alasan putra asli daerah.
Terkadang masyarakat tidak puas dengan kinerja kepala daerah yang putra asli
daerah tersebut. Masyarakat ingin adanya perubahan pada daerah merka.
Kelebihan kepala daerah yang dinaturalisasi,
antara lain :
a.
Semua kepala daerah yang
dinaturalisasikan secara masif oleh rezim berkuasa, mau atau tidak harus
bekerja keras supaya mampu menampilkan kinerja positif sebelum diganti oleh
kandidat lain yang lebih bagus. Itulah
mengapa kita tidak mempersoalkan siapapun yang menjadi kepala daerah waktu itu,
apakah dia orang Bugis atau Jawa. Apalagi kalau mereka sudah kawin-mawin dan
beranak pinak di daerah masing-masing, tentu saja akseptabilitas masyarakat
jauh lebih mungkin untuk menerima. Seorang kepala daerah yang ditetapkan
sebagai Gubernur, Bupati dan Walikota dimasa itu akan memperlihatkan kinerjanya
sebaik mungkin paling tidak karena alasan pertama mereka merasa bukan putra
asli daerah, sehingga diperlukan tindakan yang benar-benar serius untuk
memperlihatkan keberpihakan yang nyata pada kepentingan rakyat di daerah
tersebut. Ini untuk meyakinkan bahwa
sekalipun mereka bukan putra asli daerah, namun kenyataannya mereka juga bisa
pro-daerah.
b.
Mereka merasa dipilih oleh
rakyat, maka sepatutnya mereka bekerja dengan baik agar tidak dinilai gagal
oleh pemberi mandat. Pemberi mandat dalam hal ini adalah para pemilih dan
pendukung mereka.
Dengan
ketidakpuasan masyarakat tentang kepala daerah putra asli daerahnya, masyarakat
mulai menginginkan kepala daerah yang dari luar daerahnya. Seiring dengan
perkembangan zaman tidak hanya sosok atlet sepak bola saja yang di
naturalisasi. Kini berlaku juga dengan pejabat daerah, tetapi dalam konteks
yang berbeda. Jika pemain sepak bola perpindahan dari warga asing menjadi warga
Negara Indonesia, sedangkan pejabat daerah biasanya warga yang berasal dari
wilayah luar. Belakang ini yang baru terjadi adalah pengangkatan Gubernur
Jakarta dan wakilnya, yaitu Joko Widodo dan Ahok. Joko Widodo atau yang biasa
dipanggil Jokowi berasal dari Solo, sedangkan Ahok berasal dari Belitung Timur dan
dari etnis Cina.
Pencalonan
Jokowi ini sempat menuai protes dari warga Solo sendiri. karena pada saat pencalonan
Jokowi belum menyelesaikan masa jabatannya sebagai Walikota Solo. Di daerah
lain juga terjadi penolakan mengenai pejabat, lebih tepatnya didaerah Minahasa
Ternggara. Penolakan ini dikarenakan calon pejabat tersebut bukan berasal dari
daerah tersebut. Aksi penolakan sekelompok warga Minahasa Tenggara (Mitra)
terhadap beberapa bakal calon bupati Mitra yang berlatar belakang “Bukan warga
asli Mitra” ditanggapi Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) Perjuangan Mitra, Taviv Watuseke. Saat diwawancarai Tribun
Manado, Watuseke mengungkapkan bahwa eskpresi yang ditunjukkan sekelompok warga
Mitra merupakan suatu hal yang biasa saja dalam alam demokrasi dewasa ini.
Perlu diketahui juga bahwa setiap warga Negara
memiliki haknya masing-masing. Terkait hal itu, politisi yang juga sebagai
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Mitra ini, menegaskan bahwa PDI
Perjuangan pada dasarnya sebagai partai Nasionalis terbuka, bukan partai
ekslusif dan primordial. Oleh karena itu dalam proses seleksi calon bupati,
mereka menggunakan standard baku yang telah digariskan partai. “Sebagai partai
Nasionalis terbuka, PDI Perjuangan terbuka bagi siapa saja yang ingin membangun
Negara, termasuk daerah kita tercinta ini,” pungkas Watuseke yang dikutip oleh tribunews. Menurut dia, sebaiknya
masyarakat dapat bersama-sama bergandengan tangan untuk membangun Mitra. Dan
lewat proses politik Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(Pemilukada) Mitra 2013, rakyat dapat menentukan hak poilitiknya untuk memilih
figur yang diinginkannya untuk melakukan perubahan bagi Mitra kedepan.
“Tanggalkanlah segala bentuk hegemoni pribadi dan kelompok, mari bergandengan
tangan untuk Mitra yang lebih baik, sejahtera dan Sejati,” ajaknya. (www.manado.tribunnews.com
)
Dari tindak
penolakan tersebut muncul istilah naturalisasi kepala daerah, yang memiliki
arti bahwa individu berhak menjadi pejabat daerah lain meskipun bukan penduduk
daerah tersebut. Kita ketahui bahwa hal ini sangat riskan jika melihat dari
asal daerah, bahwa pejabat daerah haruslah berasal dari daerah itu sendiri. Karena
Indonesia memiliki beragam budaya serta banyak daerah. Ini mempengaruhi gaya
kepemimpinan pejabat yang bersangkutan. Sebenarnya kita tidak perlu mempermasalahkan
asal kepala daerah kita, yang terpenting adalah cara mereka memimpin dan
mengasilkan sesuatu yang terbaik bagi daerah dan masyarakat yang mereka pimpin.
Misalnya saja Jokowi yang memiliki Gaya Kepemimpinan Demokratisnya, yakni gaya
pemimpin yang memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Setiap ada
permasalahan selalu mengikutsertakan bawahan sebagai suatu tim yang utuh. Dalam
gaya kepemimpinan demokratis, pemimpin memberikan banyak informasi tentang
tugas serta tanggung jawab para bawahannya.
Walaupun dalam
banyak hal tentang Jokowi, seperti tentang perjalanan politiknya tidak sebagus
yang masyarakat ketahui dengan gaya kepemimpinan Diplomatis, kelebihan gaya
kepemimpinan ini ada di penempatan perspektifnya. Banyak orang seringkali
melihat dari satu sisi, yaitu sisi keuntungan dirinya. Sisanya melihat dari
sisi keuntungan lawannya. Hanya pemimpin dengan kepribadian putih ini yang bisa
melihat kedua sisi, dengan jelas, apa yang menguntungkan dirinya, dan
juga menguntungkan lawannya. Misalkan saja mengenai banjir yang terjadi di Solo
sendiri yang merendam rumah dinas Wakil Walikota. Namun, dibalik itu semua
gebrakan yang dilakukan terhadap pedagang kaki lima di Solo serta upaya
menangani banjir Jakarta baru-baru ini tidak bisa dilupakan begitu saja.
Awalnya banyak orang yang meragukan Jokowi, karena dia berasal dari luar
Jakarta. Apakah dia bisa menangani masalah banjir yang telah menjadi masalah klasik
Ibu Kota Negara ini. Walaupun demikian kemampuan Jokowi yang cepat tanggap
perlu diapresiasi, terutama bagi orang-orang yang awalnya meragunan dia.
Memang dalam
urusan pencalonan kepala daerah erat hubungannya dengan kepentingan politik.
Kepala daerah dibuat sebagai ajang sumber keuangan oleh pihak-pihak tertentu.
Seiring berjalannya waktu kemampuan mereka dalam menghandle setiap masalah yang ada akan menjadi bukti bahwa
naturalisasi kepala daerah itu bisa terjadi. Melihat dari berbagai kasus diatas, yaitu
kasus Gubernur Jakarta dan Calon pejabat Minahasa Tenggara naturalisasi itu
bisa dilakukan, karena sebagai warga Negara memiliki hak yang sama dalam hal
apapun termasuk politik yaitu sesuai dengan pasal 28C UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya
dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa,
dan negaranya”. Semuanya tetap akan kembali pada masing-masing individu,
apakah mereka memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku atau tidak karena dalan
pencalonan kepala daerah ada peraturan yang harus dipenuhi. Selain itu individu
tersebut dituntut memiliki track record
yang baik sebagi warga Negara, pendidikan juga berpengaruh dalam gaya
kepemimpinan, dan mampu menangani masalah-masalah yang ada di daerah yang bakal
dipimpin. Dalam politik sebenarnya trik-trik kerap digunakan untuk menarik
perhatian masyarakat, seseorang yang memiliki track record yang sangat buruk
sekalipun bisa tetutupi dengan sedikit sentuhan politik misalnya dengan
pencitraan yang baik. Dengan perkembangan dunia pendidikan serta semakin
pintarnya warga Negara, trik-trik yang dilakukan akan semakin jitu sehingga hal
tersebut tidak dianggap sebagai sebuah trik politik.
Melihat contoh
kasus diatas adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi calon kepala daerah yaitu
ada 16 syarat calon Kepala Daerah seperti tercantum dalam UU NO 32/2004 terkait
Rencana Penambahan Persyaratan oleh Pemerintah :
a. Bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Setia
kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
c. Berpendidikan
sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat;
d. Berusia
sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun
e. Sehat
jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim
dokter;
f. Tidak
pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih;
g. Tidak
sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
h. Mengenal
daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
i. Menyerahkan
daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
j. Tidak
sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan
hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara.
k. Tidak
sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
l. Tidak
pernah melakukan perbuatan tercela;
m. Memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib
mempunyai bukti pembayaran pajak;
n. Menyerahkan
daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan
pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
o. Belum
pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua)
kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan
p. Tidak
dalam status sebagai penjabat kepala daerah. (www.inilah.com
)
Dengan demikian
kepala daerah yang dinaturalisasi bisa dilakukakan asalkan memenuhi persyaratan
sebagai kepala daerah. Selain itu, ternyata pengertian putra asli daerah tidak
sesingkat apa yang dilihat. Dimana Menurut teori Samuel P. Huntington, ada 4
jenis dari defenisi putra daerah, yakni pertama, putra daerah geanologis atau
biologis, yaitu seseorang yang dilahirkan dari daerah tersebut. Kategori ini
dibagi menjadi, yakni seseorang yang dilahirkan di daerah tersebut yang salah
satu atau kedua orang tuanya berasal dari daerah tersebut dan mereka yang tidak
lahir di daerah tersebut tapi memiliki orang tua yang berasal dari daerah
tersebut. Kedua, yakni putra daerah politik, yaitu putra daerah genealogis yang
memiliki kaitan politik dengan daerah tersebut, contohnya anggota Dewan
Perwakilan Rakyat(DPR) dari daerah tertentu yang sebelumnya tidak memiliki
kiprah politik dan ekonomi pada daerah tersebut atau anggota dewan perwakilan
rakyat (DPR) pusat yang oleh partainya di tempatkan sebagai kandidat dari
daerah yang memiliki kaitan genealogis dengannya. Ketiga, yakni putra daerah
ekonomi, yaitu putra daerah genealogis yang karena kapasitas ekonominya
kemudian memiliki kaitan dengan daerah asalnya melalui kegiatan investasi atau
jaringan bisnis di daerah asalnya. Putra daerah ini terlintas hanya memiliki
kepentingan pragmatis dengan daerah asalnya. Mereka menggunakan daerah hanya
sebagai basis pemenuhan kepentingan politik dan ekonomi mereka sendiri. Namun
sebaliknya daerah itu pun sedikit banyak memperoleh keuntungan politik dan
ekonomi dari mereka. Keempat, yakni putra daerah sosiologis, yaitu mereka yang
bukan saja memiliki keterkaitan genealogis dengan daerah tersebut tetapi juga
hidup, tumbuh, dan besar serta berinteraksi dengan masyarakat daerah tersebut.
Mereka menjadi bagian sosiologis dari daerah tersebut. (www.alluky.blogspot.com
)
Dari
defenisi-defenisi di atas, jelaslah bahwa putra daerah tidak dapat
didefenisikan secara sempit. Putra daerah tidak hanya dapat di artikan sebagai
orang yang merupakan penduduk asli dari suatu daerah atau merupakan suku dari
suatu daerah tersebut. Dalam pemilihan pemimpin daerah yang harus diutamakan
ialah tentang kapabilitas dari
calon-calon pemimpin tersebut. Suatu daerah tidak hanya dapat dipimpin oleh
pemimpin yang bermodalkan kefiguritasan
namun cacat secara intelektual, moral dan sosial. Pemimpin yang dibutuhkan oleh
masyarakat yakni seseorang memiliki akseptabilitas namun ditunjang oleh moral
yang baik, memiliki kemampuan yang cukup untuk memimpin dan membimbing
masyarakatnya dan juga memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas
administratif dan perpolitikan, serta memiliki wawasan yang luas dan pandangan
yang luas terhadap perbaikan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Naturalisasi
kepala daerah adalah naturalisasi dalam pemilihan kepala daerah, dimana
kandidat kepala daerah bukan hanya berasal dari putra asli daerah, tetapi juga
berasal dari luar daerah di Indonesia. Namun, Naturalisasi masih menjadi pro-kontra. Untuk sampai saat ini Kasus Jokowi dan Ahok
masih memiliki pencitraan naturalisasi yang baik, berbeda dengan kasus
pencalonan penolakan sekelompok warga Minahasa Tenggara (Mitra) terhadap
beberapa bakal calon bupati Mitra atas para kandidat bukanlah warga asli
minahasa.
Isu kepala
daerah yang dikaitkan dengan keaslian putra daerah selayaknya tidak terlalu
dipusingkan oleh masyarakat karena pada dasarnya defines putra asli daerah itu
sangatlah luas. Dimana definisi putra asli daerah dapat dilihat dari berbagai
sisi, antara lain : putra daerah geanologis atau biologis, putra daerah
politik, putra daerah ekonomi dan putra daerah sosiologis. Dan dengan melihat
pasal 28C UUD 1945 tentu bisa dikatakan bahwa Naturalisasi pejabat daerah dapat
dilakukan karena tiap warga Negara memiliki hak dan kewajiban yang sama,
termasuk dalam hal politik. Asalkan setiap calon kepala daerah memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan sesuai UU NO 32/2004.
Jadi, pada
intinya naturalisasi kepala daerah harusnya bukan menjadi momok utama dalam
rotasi perputaran kekuasaan. Hal ini dikarenakan banyaknya persoalan yang harus
ditindaklajuti tentang kepemimpinan daerah. Pemimpin daerah yang diharapkan
adalah mereka yang mampu mengayomi, memberi kesejarah, mempunyai kecakapan yang
tinggi, dan pastinya memenuhi persyaratan sebagai kepala daerah.
B.
SARAN
1. Bagi
Masyarakat, ketika masyarakat diposisikan sebagai pemilih atau penentu dalam
pemilihan umum kepala daerah sebaiknya tidak mengutamakan isu latar belakang
kepala daerah yang dinaturalisasi. Masyarakat hendaknya memilih pemimpin mereka
yang kompitable, cakap, mengerti
permasalahan daerah dan memenuhi persyaratan.
2. Bagi
Kepala daerah yang dinaturalisasi, sebaiknya menjalankan tugas dan kewajibannya
dengan amanah serta tidak mengabaikan daerah yang ditangani hanya gara-gara
daerah tersebut bukanlah daerah kelahirannya.
DAFTAR PUSTAKA
Siagan, Sondang P. 2003. Filsafat administrasi. Jakarta :PT
Gunung Agung.
UUD 1945 pasal 28 C dan UU 32 tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah
Alluky. 2013. Makna Putra Daerah Dalam Kampanye Pemilukada. Diakses melalui www.alluky.blogspot.com
(24 maret 2013)
Anonim. 2012. Pencitraan Jokowi Mulai Terbongkar, Masih Layakkah Jadi Pilihan?
Diakses melalui www.suarajakarta.com
(21 Maret 2013)
Anonim. 2013. Putra Daerah dalam Pemerintahan Daerah manado. Diakses melalui www.tribunnews.com
(23 Maret 2013)