Rabu, 14 Januari 2015

KORUPSI (TUGAS MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK)

1.      Upaya apa saja yang harus dilakukan Indonesia untuk mencegah korupsi ?
Jawaban
upaya-upaya yang harus dilakukan Indonesia untuk mencegah korupsi, antara lain :
a.       Pendidikan anti-korupsi.
Pencegahan tindak korupsi dapat melalui pendidikan anti korupsi dan pembenahan sistem pendidikan yang menerapkan nilai-nilai moral.  Pendidikan anti korupsi dilakukan dengan penanaman nilai-nilai anti korupsi yang dimulai sejak usia sangat dini. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran aktif dua institusi utama tempat anak-anak memperoleh nilai dan menerapkannya dalam kehidupan mereka. Kedua institusi ini merupakan keluarga dan sekolah. Sedangkan pembenahan sistem pendidikan yang menerapkan nilai-nilai moral dapat dilakukan melalui membudayakan hidup sederhana, membudayakan sikap jujur dan menanamkan budaya malu. Sebenarnya budaya-budaya tersebut telah ada didalam tubuh masyarakat Indonesia, sayangnya budaya tersebut mulai luntur, contohnya adalah masyarakat mulai hidup dengan gaya hedonisme.
b.      Revisi undang-undang dan penegakan hukum yang berkaitan dengan korupsi.
Revisi undang-undang terus diupayakan demi pemberantasan korupsi, yang mana revisi ini mengharapkan adanya hukuman yang setimpal bagi “pemakan uang rakyat”. Hal dikarenakan banyak sekali koruptor dan pejabat yang menyepelekan hukum dan undang-undang yang berlaku di negara ini. Mereka seringkali menganggap “uang dapat membeli hukum” sehingga “hukum tajam kebawah dan tumpul keatas”. Dengan banyaknya para intelektual yang lahir dibangsa ini, maka sudah seharusnya perspektif tentang penegakan hukum dan undang-undang yang lemah harus dihapuskan. Keadilan harus ditegakkan dalam menjalankan pemerintah yang bersih sehingga produk hukum yang diciptakan tidak hanya menguntungkan kaum kelas ekonomi atas.
c.       Pengembangan lembaga yang berkecimpung dengan pembrantasan korupsi.
Pengembangan lembaga yang paling penting disini adalah KPK, ICW, TII  dan Club Indonesia Bersih.  Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil peran sebagai pionir dalam pembangunan Sistem Integritas Nasional (SIN), kemudian dilanjutkan dengan membangun kompetensi inti tahap berikutnya melalui pembangunan Fraud Control (Pengendalian Kecurangan).  Sedangkan ICW, TII dan Club Indonesia Bersih adalah lembaga masyarakat yang meninjau tentang Korupsi. TII (Transparency International Indonesia) melakukan review dan kebijakan atau legal drafting kebijakan, mempromosikan reformasi kebijakan dalam lembaga-lembaga pemerintah dan penegak hukum.  Salah satu kekuatan TII adalah survei tahunan dan publikasi Indeks Persepsi Korupsi Indonesia. Staf TI Indonesia berasal dari berbagai lapisan masyarakat mulai dari ekonom, pengacara, pakar komunikasi, ilmuwan politik dan antropolog, yang mencerminkan suatu pendekatan terpadu terhadap antikorupsi. Lalu ICW (Indonesia Corruption Watch)  bersama masyarakat berupaya meningkatkan kapasitas publik untuk menuntut haknya mendapatkan fasilitas dasar yang dijamin oleh negara tanpa dikorupsi. Kontrol masyarakat yang kuat sangat diperlukan untuk membuat perubahan. ICW juga berupaya mendobrak kebuntuan hukum untuk lebih dapat diandalkan dalam upaya pemberantasan korupsi.  Selanjutnya Club Indonesia Bersih merupakan wadah berhimpunnya sejumlah elemen masyarakat dari berbagai bidang dan keahlian. Club ini didirikan untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya korupsi serta mengkampanyekan nilai-nilai kejujuran. Club ini berbasis komunitas kreatif dan bersifat sukarela.
d.      Membangun Pers yang kritis sebagai media kontrol sosial.
Membangun Pers dapat dilakukan dengan cara mengembalikan Netralitas Pers dan pemberitaan Kasus Korupsi secara Tuntas. Pers selama ini selalu dijadikan media politis dan sangat sering terjadi media menjadi kendaraan politik oknum-oknum tertentu untuk memberitakan hal-hal yang dapat menguntungkan mereka maupun menjatuhkan lawan politik mereka. Seharusnya Pers dikembalikan kepada fungsi awalnya sebagai media penyedia informasi yang netral dan dapat dipercaya, kritis dan tidak ditumpangi kepentingan pihak-pihak tertentu. Hal ini dapat dilakukan dengan memperketat seleksi penerimaan karyawan, khususnya reporter, anchor, dan editor pada lembaga pers.
e.       Penerapan Good Governance dan membangun situasi politik yang sehat.
Dengan menerapkan Good Governance di tubuh pemerintahan Indonesia, maka diharapkan prinsip-prinsip Good Governance seperti akuntabilitas, transparansi dan keadilan dapat terjiwai oleh para pejabat pemerintah sehingga korupsi dibangsa ini dapat terkurangi. Selain itu, membangun situasi politik yang sehat dan bersih dapat dimulai dengan proses pemilihan umum sehingga upaya-upaya yang dapat dilakukan diantaranya meningkatkan kesadaran dalam berpolitik dan laporan keuangan partai politik harus disampaikan secara transparan.
Sumber :
Buku Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi/Anti Korupsi.

2.      Mengapa negara kita kaya raya tetapi penduduknya miskin ?
Jawaban : Negara Indonesia kaya raya tetapi penduduknya miskin dikarenakan oleh beberapa hal, diantaranya adalah :
a.       Para pemimpin miskin moral dan pemerintahan diisi dengan orang yang tidak berkualitas.
Para pemimpin bangsa dari kepala desa hingga wakil rakyat tidak lagi mengayomi rakyatnya, melainkan mengayomi dirinya sendirinya. Moral-moral mereka tak lagi melekat dalam menjalankan kewajiban sebagai pelayan masyarakat, mereka bukan lagi wakil rakyat tetapi wakil kepentingan pribadi dan golongannya. Hal ini memicu adanya korupsi, kolusi dan nepotisme sehingga kekayaan bangsa tidak dialokasikan dan didistribusikan secara adil dan merata. Kekayaan yang dimiliki bangsa hanya dinikmati segilintir orang karena mereka yang duduk di pemerintahan melupakan tugasnya untuk mensejahterakan bangsa Indonesia. Selain itu, Pemerintah belum mampu mengelola dan memanfaatkan segala kekayaan yang ada di tanah air ini secara optimal. Kurangnya kesadaran dan optimalisasi para pejabat pemerintah dalam mengelola kekayaan negara inilah yang mengakibatkan ekonomi Indonesia kurang baik. Dimulai dari hal yang kecil dan berkembang menjadi hal yang besar hingga perekonomian negara makin terpuruk. Kekayaan negara pun tidak dapat difungsikan dengan baik, sehingga Indonesia sebagai negara “kaya” namun rakyat kecil banyak yang melarat.
b.      Pihak swasta serakah dalam memburu keuntungan.
Pihak swasta memilki andil dalam ketimpangan bangsa ini. Hal ini dikarenakan pihak swasta memburu keuntungan secara besar-besaran. Kontrak-kontrak dalam eksplorasi sumber daya alam dilakukan tanpa melakukan pembaharuan. Lingkungan rusak tanpa adanya sikap tanggungjawab, yang mana AMDAL dibeli dengan uang, surat ijin dikantongi tanpa perlu peninjauan lokasi oleh pemerintah. Tidak hanya itu, pihak swasta seringkali memeras kaum buruh dengan pengupahan yang tidak sesuai dengan kerja keras yang mereka kerjakan. Pihak swasta tidak segan memecat bagi buruh yang melanggar aturan yang dibuatnya. Ketimpangan ini melahirkan kemiskinan yang semakin melebar bagi penduduk biasa yang tidak memiliki modal yang besar dan tentunya para pemilik modal semakin menggembungkan rekeningnya sendiri tanpa harus mempersoalkan kemakmuran bangsa.
c.       Masyarakat sibuk menyalahkan pemerintah dan tidak mengembangkan kualitas pribadi.
Pemerintah selalu dipersalahkan oleh berbagai pihak. Sederhananya adalah masyarakat sibuk menyalahkan pemerintah, padahal mereka seringkali tidak memiliki solusi. Jangankan solusi untuk bangsa, solusi untuk dirinya sendiri pun enggan dipikirkan. Kualitas masyarakat saat ini harusnya dikembangkan dengan baik, tidak hanya pendidikan tetapi pula kreativitas dan ketrampilan pribadi. Dengan kesadaran akan peningkatan kualitas pribadi, maka akan melahirkan berbagai produk dan jasa yang dapat mengentaskan diri dari kemiskinan. Tidak hanya itu, eksplorasi atas kompetensi pribadi dapat pula menumbuhkan intelektualitas yang akan memberikan solusi atas miskinnya bangsa ini.
d.      Pihak asing cenderung mendikte bangsa Indonesia.
Kepentingan asing selalu mendikte dan serakah dalam mengeruk kekayaan alam dari Indonesia. Khususnya bidang pertambangan, kepentingan asing lebih diuntungkan dibanding kepentingan rakyat. Hal itu disebabkan pihak asing cenderung mendikte isi kontrak perjanjian kerja sama yang dijalin dengan pemerintah. Mereka dengan serakah berlomba-lomba mengeruk kekayaan alam dari Indonesia, sedangkan sangat sedikit manfaat yang dirasakan oleh rakyat. Indonesia memiliki kekuatan bargaining-position yang lemah sehingga perundingan kerjasama seringkali Indonesia bermental down dan mengangguk atas semua persyaratan yang diajukan pihak asing. Tentu ini akan sangat merugikan bagi bangsa, khususnya para rakyat kecil karena tidak mampu menikmati kekayaan negaranya sendiri.
Sumber :

3.      Apa hubungannya pembrantasan korupsi dengan pendidikan anti-korupsi ?
Jawaban : Pendidikan anti-korupsi merupakan alat pencegahan dan alat untuk memberantas korupsi. Tujuan dari pendidikan anti-korupsi ini adalah untuk membangun nilai-nilai dan mengembangkan kapasitas yang diperlukan untuk membentuk posisi sipil anak didik dalam melawan korupsi. Pendidikan anti korupsi bisa dilaksanakan (diterapkan) baik secara formal maupun informal. Ditingkat formal, unsur-unsur pendidikan anti korupsi dapat dimasukkan kedalam kurikulum diinsersikan/diintegrasikan ke dalam matapelajaran. Ada dua model yang dapat dilakukan oleh sekolah dalam mengembangkan kurikulum pendidikan anti korupsi, yakni Pertama, proses pendidikan harus menumbuhkan kepedulian sosial-normatif, membangun penalaran objektif, dan mengembangkan perspektif universal pada individu. Kedua, pendidikan harus mengarah pada penyemaian strategis, yaitu kualitas pribadi individu yang konsekuen dan kokoh dalam keterlibatan peran sosialnya. Selain itu, Education is a mirror society, pendidikan adalah cermin masyarakat. Artinya, kegagalan pendidikan berarti kegagalan dalam masyarakat. Demikian pula sebaliknya, keberhasilan pendidikan mencerminkan keberhasilan masyarakat. Pendidikan yang berkualitas akan menciptakan masyarakat yang berkualitas pula. Jadi, edukasi yang baik khususnya sisi moral dapat mencegah tindakan korupsi sehingga tidak bermunculan para koruptor masa depan. Tidak hanya itu, pendidikan anti-korupsi dapat menyadarkan bagi para koruptor untuk mengetahui kesalahan dan membangkitkan kesadaran akan betapa jahatnya dalam berkorupsi sehingga diharapkan koruptor insyaf dan mengembalikan hak masyarakat yang telah dirampasnya.

4.      Berilah pendapat anda kenapa justru para pejabat yang mempunyai gaji besar tetapi melakukan korupsi !
Jawaban : Alasan para pejabat memiliki gaji besar tetapi masih melakukan korupsi diantaranya adalah krisis moral, faktor keserakahan dan faktor kesempatan, adanya dukungan sosial dan hukum korupsi yang ringan. Krisis moral dikarenakan pejabat hanya memiliki kepintaran yang rasionalitas, mereka tidak memiliki moralitas untuk kehidupan sosialnya. Pejabat tidak memiliki pendidikan anti-korupsi yang baik sehingga mereka melupakan bahwa kewajiban utamanya adalah mensejahterakan dan mewakili masyarakat, karena mereka hanya memikirkan bagaimana mendapatkan keuntungan atas kedudukan dan jabatannya. Selanjutnya faktor Greeds (keserakahan) dan Opportunities (kesempatan). Faktor keserakahan  berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang, sedangkan faktor kesempatan berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan. Hal ini mendorong pula adanya dukungan sosial untuk melakukan korupsi, yang mana banyak rekan kerjanya yang korupsi sehingga adanya alasan untuk melakukan korupsi. Bahkan Pola hidup konsumerisme yang dilahirkan oleh sistem pembangunan mendorong pejabat untuk menjadi kaya secara instant. Hal ini menyebabkan lahirnya sikap serakah dimana pejabat menyalahgunakan wewenang dan jabatannya, seperti melakukan mark up proyek-proyek pembangunan. Selain itu, penegakan hukum tidak berjalan hampir diseluruh lini kehidupan, baik di instansi pemerintahan maupun lembaga kemasyarakatan karena segalanya diukur dengan uang. Bahkan hukuman untuk para koruptor tidak sebanding dengan kejahatan mereka, yang mana dengan triliun-an uang yang diperolehnya akan mendapatkan hanya beberapa tahun masa kurungan. Dengan begitu, para koruptor dan para calon koruptor tidak merasa takut dan tidak jera akan hukuman tersebut. Jadi, pada intinya pejabat yang memiliki gaji tinggi tetapi melakukan korupsi dikarenakan perspektif yang mengutamakan “uang diatas segalanya”.

5.      Buatlah analisis pendidikan keluarga masing-masing terhadap anti-korupsi !
Jawaban : Mendidik generasi muda dengan menanamkan nilai-nilai etika dan moral yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Pendidikan tersebut dimulai didalam keluarga karena keluarga sebagai organisasi sosial terkecil dalam masyarakat yang memiliki peran dasar dan pengaruh signifikan dalam penanaman nilai dan pembentukan perilaku anak. Menurut kajian Psikologi, Pendidikan antikorupsi harus dimulai sedini mungkin karena perkembangan awal lebih kritis daripada perkembangan selanjutnya. Didalamnya anak sedang berada pada masa tertinggi dalam menguasai ketrampilan dasar membaca, menulis, secara formal berhadapan langsung dengan dunia yang lebih besar dan lengkap dengan budayanya juga prestasi adalah tema sentral dalam dunia mereka yang disertai dengan kontrol diri yang meningkat. Di dalam keluargalah anak menemukan dan meniru nilai yang diakarkan dan yang ditunjukkan oleh orang tuanya. Oleh sebab itu, ada baiknya pemerintah mencoba memaksimalkan peran para orang tua untuk mendidik karakter anti korupsi anak-anak mereka di rumah. Dalam rangka melakukan hal tersebut secara efektif, sebaiknya pemerintah mengembangkan teknik edukasi khusus untuk mensosialisasikan pendidikan tersebut kepada para orang tua.
Betapa pentingnya penerapan pola asuh orang tua yang baik kepada anaknya, selain karena orang tua adalah suri tauladan bagi anaknya, dari orang tualah akan timbul pembiasaan pembentukan karakter anak. Hal ini dikarenakan tindak perilaku korupsi bisa dimulai dari salahnya pola asuh yang diterapkan semasa pembentukan karakter yang pada akhirnya akan membentuk karakter dan ketika semakin dibiasakan atau terjadi proses pembiaran, maka puncaknya karakter tersebut akan menjadi sebuah perilaku laten yang tak mudah diubah kecuali dengan kemauan yang kuat oleh masing-masing individu yang menjalaninya.

Pendidikan anti-korupsi dikeluarga dapat dilakukan dengan hal-hal kecil seperti menumbuhkan sikap jujur dan memberikan kepercayaan pada anak. Contohnya adalah orang tua saya selalu mempercayakan saya sendiri untuk membayar uang SPP saat sekolah. Setelah pembayaran, saya selalu membawa bukti pembayaran untuk dilaporkan kepada orang tua saya. Seberapa kecil pun uang kembalian dari uang SPP tersebut akan saya kembalikan kepada orang tua saya. Hal ini dikarenakan orang tua saya telah mendidik saya untuk memisahkan uang jajan dengan biaya sekolah. Contoh kecil tersebut dapat mengakar pada diri anak untuk melatih kejujuran sehingga saat ia dihadapkan pada amanah yang dipercayakan dari organisasi yang lebih besar, maka ia telah terbiasa untuk melaporkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, tanpa mengambil keuntungan untuk pribadi atau golongannya.

DEREGULASI PERSONALIA (PERMASALAHAN DAN PROSPEK)

PEMBAHASAN

Tidak ada satupun organisasi bebas dari pengaruh lingkungannya. Lingkungan di mana perusahaan beroperasi dapat memiliki dampak yang signifikan pada semua aspek pengelolaan operasi - termasuk bagaimana para pekerja dikelola. Bagaimana pekerja dikelola ditentukan oleh kebijakan perusahaan, kondisi hubungan kerja di perusahaan dan / atau di tingkat sektoral atau nasional (dan setiap perjanjian atau pengaturan yang timbul dari ini) dan juga setiap standar yang perusahaan harus taati. Ini adalah pengingat yang baik bahwa adanya faktor internal dan eksternal yang dapat berdampak pada Manajemen SDM.
            Kebijakan perusahaan atau kebijakan organisasi merupakan factor internal dalam keberlangsungan suatu organisasi. Dimana seringkali adanya perubahan kebijakan organisasi, hal ini juga memunculkan adanya perubahan aturan dalam organisasi yang sering disebut deregulasi. Berikut adalah pembahasan tentang deregulasi di bidang personalia.

DEREGULASI PERSONALIA : SEBUAH GAGASAN YANG TEPAT
Mengingat semua pembicaraan tentang deregulasi dan semua saran yang telah dibahas, secara natural telah melahirkan satu pertanyaan apakah ada atau tidak ada pengaruh yang kuat terhadap fungsi personalia? Jawaban dari pertanyaan ini tentu "ya". Pada kenyataan, contoh dari deregulasi personalia dapat ditemukan di berbagai tingkat pemerintahan di Amerika Serikat.
Pertama, pada tingkat federal, Kantor Manajemen Personalia (OPM) baru-baru ini mengeluarkan suatu laporan tentang deregulasi personalia. Laporan, yang didasarkan pada survei terhadap direktur personil di tingkat federal, menunjukkan bahwa, "Secara keseluruhan ... OPM dan [Federal] lembaga yang mengurangi aturan dan peraturan pegawai setidaknya sampai batas tertentu ..." (US Kantor Manajemen Personalia [OPM] 1998: 5). Untuk lebih spesifik 87 persen responden melaporkan bahwa OPM telah mengurangi aturan dan peraturan pegawai dari "batas tertentu" menjadi "tingkat yang sangat luas", sementara laporan 97 persen bahwa lembaga-lembaga mereka sendiri telah mengurangi aturan dan peraturan personalia mereka dari "batas tertentu "ke" tingkat yang sangat luas "(US OPM 1998: 5). Dengan demikian, studi OPM menawarkan bukti yang jelas mengenai deregulasi personalia di tingkat federal.
            Pemahaman tentang deregulasi ditingkat federal juga dapat diketahui melalui pemeriksaan laporan keempat dari National Performance Review, The Best Kept Secrets in Government (NPR,1996). ). Laporan ini menyoroti secara singkat-dengan nada sumbang bahwa fungsi personalia yang tradisional merupakan upaya pemerintahan Clinton untuk menemukan kembali manajemen sumber daya manusia di tingkat federal. . Deregulasi terkait dengan perubahan termasuk dalam menciptakan lamaran kerja, lebih mengutamakan  "akal sehat" dibandingkan “aturan yang berbelit dan panjang” SF-171 (SF-171 adalah aplikasi standar dari badan-badan federal sebelumnya yang diperlukan untuk perekrutan). Singkatnya, contoh-contoh ini menggambarkan bahwa deregulasi personalia  telah terjadi di tingkat federal dengan upaya reinventasi pada pemerintahan Clinton.
            Kedua, bukti deregulasi personalia dapat ditemukan di tingkat daerah. Pada tingkat pemerintah daerah, misalnya para peneliti telah mengidentifikasi kasus deregulasi personalia di tempat-tempat seperti Dallas dan Baltimore (Hamman dan Desai, 1995), Indianapolis (Perry, Wise, dan Martin, 1994), dan Philadelphia (Pierce, 1994). Demikian pula, penelitian tingkat pemerintah daerah menunjukkan bahwa deregulasi adalah gagasan yang tepat atas inisiatif reformasi pegawai di tempat-tempat seperti Florida (Pierce 1994: Wechsler 1993, 1994), NewYork (Ban dan Riccucci 1994), Wisconsin (Lavigna, 1996) dan Georgia (Gossett , 1997; Facer 1998). Ini bukan untuk mengatakan bahwa manajemen sumber daya manusia telah dideregulasi pada tingkat yang sama di semua tempat. Tentu karena adanya perbedaan sosial, politik dan ekonomi, maka perlu adanya pengaturan untuk mengukur variabilitas dalam deregulasi. Hal ini juga untuk memberikan bukti bahwa deregulasi terjadi di kota-kota dan negara.
            Beberapa reformasi yang paling menonjol di tingkat negara telah terjadi di Georgia, South Carolina dan Wisconsin. Georgia, misalnya, telah "berjalan menepi" ketika melakukan reformasi personil: negara menghilangkam perlindungan pegawai negeri sepenuhnya untuk karyawan yang dipekerjakan setelah Juli 1996 (Barret dan Green, 1996). Dengan signifikan meregulasi dan mengembangkan kewenangan kepada lembaga-lembaga negara untuk merampingkan banyak praktik sumber daya manusia, termasuk hal disiplin dan pemutusan hubungan kerja karyawan. Reformasi South Carolina berusaha untuk memberikan manajer lebih banyak kontrol atas manajemen sumber daya manusia antara lain, mengurangi jumlah klasifikasi pekerjaan, memberikan keleluasaan yang lebih untuk penghargaan kenaikan gaji, dan mengorientasi ulang Kantor Sumber Daya Manusia di tingkat federal dari badan khusus personalia untuk menekankan kontrol regulasi ke salah satu sumber daya manusia yang umum untuk menekankan layanan instansi lini dan konsultasi (Hays, 2000; Barret dan Green, 1999). Untuk bagian Wisconsin, negara telah membuat langkah besar dalam merampingkan seleksi karyawan dengan membentuk pengujian untuk beberapa posisi, menciptakan alternatif untuk ujian tertulis untuk posisi profesional, memberikan kemampuan lembaga untuk dengan cepat mempekerjakan kandidat yang memenuhi syarat untuk daerah "kritis" (misalnya, kesehatan, teknik) dan membatasi daftar bersertifikat (Lavigne, 1996 ; Barrett dan Greene, 1999).
Tabel 6-1 menawarkan beberapa informasi tambahan mengenai tingkat deregulasi personalia di Amerika Serikat. Data mewakili  sejumlah negara yang memiliki beberapa bentuk deregulasi personilia seperti yang disebutkan dalam bab pendahuluan ini. Data dikumpulkan dari survei terhadap pejabat atas di negara-negara (Coggburn, 1999). Seperti yang ditunjukkan tabel, beberapa bentuk deregulasi lebih mudah dipahami. Misalnya, mengurangi ujian tertulis (dengan memberikan lembaga kontrol atas kriteria seleksi) dan meningkatkan kebijaksanaan lembaga dengan memperluas " tiga aturan ", sementara negara-negara yang lebih sedikit memberanikan diri secara politik telah membentuk kelompok veteran yang kuat dengan menghapus preferensi veteran. Secara umum, data mendukung argumen bahwa setidaknya telah ada beberapa perwujudan dari deregulasi personalia.
Dengan memperhatikan bukti ini, dapat disimpulkan bahwa derregulasi personalia telah menyebar ke perwakilan seluruh pemerintahan. Menyadari hal ini, penting untuk mempertimbangkan beberapa tantangan utama yang terkait dengan fungsi personalia yang telah diregulasi. Bagian berikutnya menganggap beberapa masalah yang mungkin akan menentukan apakah deregulasi menjadi fitur permanen dari pengelolaan sumber daya publik atau hanya akan menjadi percobaan singkat.
Tabel 6-1 Sejumlah Negara yang Menunjukkan Bentuk Deregulasi Sumber Daya Manusia
Bentuk Dari Derregulasi
Banyaknya Pengaruh (Persen)
Menghilangkan kriteria seleksi ketat
30 (67%)
Instansi lini mengembangkan kriteria seleksi dalam perekrutan
32 (71%)
Mengefektifkan proses penghentian karyawan
14 (31%)
Hilangkan preferensi ‘veteran ' dalam perekrutan
02 (04%)
Menghilangkan senioritas yang berlebihan
13 (29%)
Menghilangkan penggunaan standar formulir aplikasi
09 (20%)
Mengimplementasi broadbanding
17 (38%)

Undang-undang dan peraturan dapat berhubungan dengan ketentuan dan administrasi, yang khususnya penting adalah standar Manajemen SDM yang terkait dengan keterlibatan pekerja. Adalah penting bahwa strategi SDM memperhitungkan standar minimum berdasarkan hukum yang ada di dalam negara. Ini termasuk:
·          tindakan-tindakan hukum mengacu pada kondisi kerja,
·          usia minimum dan gaji minimum,
·          pembayaran lembur dan jam kerja,
·          kebebasan berserikat dan hak untuk berorganisasi, dan
·          keselamatan dan kesehatan kerja, dan
·          hukum anti diskriminasi.


MASALAH DAN PROSPEK
Deregulasi, seperti reformasi personalia lainnya, menyediakan manajer umum dan manajer sumber daya manusia dengan berbagai peluang dan tantangan. Kesempatan terbaik, seperti yang dibicarakan dalam pendahuluan bab ini, untuk memberikan fleksibilitas manajer yang mereka butuhkan untuk membuat personil berfungsi lebih efisien dan efektif. Sebaliknya, fokus pembahasan berikut adalah beberapa isu utama dan tantangan yang berkaitan dengan deregulasi personalia. Sementara daftar yang disajikan tidak lengkap, tidak mengandung beberapa tantangan yang paling serius dan langsung terhadap deregulasi personalia.

Kapasitas managerial dan Ketidaklogisan
Masalah utama yang perlu dikhawatirkan dalam deregulasi adalah responsibilitas baru yang diberikan pada manajer sumber daya manusia dan manajer instansi lini. Meskipun mungkin tidak memikirkan kantor personalia pusat  (para deregulator berpendapat sebaliknya),  tetap benar bahwa memiliki lembaga pusat mengubah  tugas atau menangani masalah sumber daya manusia dapat mengurangi beban terkait atas instansi lini dan manajer yang memiliki banyak personil. Dalam lingkungan yang dideregulasi,  responsibilitas yang dialihkan termasuk berlebihan. Terlebih lagi, jika tidak menghilangkan pedoman rinci yang memisahkan fungsi personalia.
Kapan dan di mana perubahan terjadi seperti responbilitas dan pengurangan panduan rinci, sangat penting untuk kedua manajer dan manajer sumber daya manusia di tingkat lembaga untuk memiliki kapasitas untuk berhasil mengambil peran mereka. Apakah manajer dan manajer sumber daya manusia melalui badan-badan yang dimiliki KSA diperlukan untuk melakukan tugas baru mereka? Ini adalah pertanyaan mendasar yang penting, terutama mengingat bahwa banyak manajer telah maju ke posisi mereka tanpa pelatihan yang memadai di bidang personalia (lihat NPA, 1983: 39).   Kurangnya pengetahuan tersebut ditambah dengan penurunan panduan rinci menimbulkan kemungkinan yang akan ditempatkan pimpinan instansi dalam posisi ketidakpastian untuk menyelesaikan masalah sumber daya manusia (Petters adn Savoie, 1996).
Dalam nada yang serupa, peran dan harapan mereka yang bekerja di kantor personalia pusat harus berubah dalam lingkungan yang telah dideregulasi. Secara khusus, personalia pusat yang menjaga aturan dan peraturan personalia, akan dipanggil untuk melayani sebagai konsultan lembaga untuk menasehati lembaga lini. Jelas ini merupakan permulaan dari fokus penegakan peraturan tradisional mereka. Apakah karyawan kantor personalia pusat dapat mengupas habis apa yang dibutuhkan dari perubahan "kebijakan" peran untuk konsultasi atau menasihati peran?
Jawaban atas pertanyaan ini tidak semuanya jelas, namun bukti samar yang tidak ada memberikan beberapa alasan untuk dikhawatirkan. Ban (1998) misalnya, laporan temuan dari 1993 jasa studi Protection Board System (AS Merit Sistem Badan Perlindungan (MSPB) 1993) dari fungsi personalia tingkat federal. Laporan MSPB menemukan bahwa 56 persen dari manajer dan 46 persen dari yang disurvei para pegawai mengindikasikan yang baik "untuk sebagian besar" atau "sampai batas tertentu" kesulitan mereka meningkat dalam  melaksanakan tugas personalia karena kurangnya para pegawai yang memiliki keterampilan (Ban 1998: 23). Yang sama, laporan MSPB mereka menunjukkan bahwa manajer personalia tingkat federal yang jelas mengakui keterampilan kekurangan-57 persen menjawab bahwa tingkat pengetahuan dan keterampilan mereka memungkinkan mereka untuk memberikan pelayanan yang terbaik hanya "untuk sebagian kecil" (Ban, 1998: 23).
Bukti baru menjelaskan hal serupa.  Suatu laporan MSPB 1999, misalnya mengidentifikasi kurangnya pengetahuan tentang pimpinan instansi bagian dan supervisor sebagai penghambat utama untuk menderegulasi dan desentralisasi kegiatan perekrutan pemerintah federal (US MSPB, 1999). Hal serupa, OPM mencatat bahwa kurangnya pengetahuan tentang deregulasi personalia telah meninggalkan kebingungan pada  manajer federal, supervisor, dan para pegawai tentang mereka bisa dan tidak bisa dilakukan (US OPM, 1998). Mengingat hal ini, orang dapat dengan mudah melihat mengapa banyak manajer dan supervisor federal "merasa bahwa mereka membutuhkan lebih banyak pelatihan dalam kebijakan personalia dan isu-isu untuk mengetahui cara paling efektif menggunakan sistem[personalia] " (US OPM, 1998: 11).

Perubahan Nyata Atau Gagasan yang tidak masuk Akal ?
Masalah kedua terkait dengan  deregulasi personalia menanyakan apakah pimpinan instansi benar-benar menginginkan fleksibilitas dan kebijaksanaan. Lebih khusus, pertanyaannya adalah: jika peraturan dan kontrol yang dikenakan terpusat diangkat, akankah perlu diterjemahkan ke dalam penggunaan yang lebih besar dari kebijaksanaan oleh manajer publik?
Pertanyaannya mungkin tampak aneh, tapi mempertimbangkan kasus pemerintah federal setelah kematian FPM OPM (yang disebutkan di atas). Penambahan 10.000 pengguna halaman adalah (mungkin)  regulasi yang berlebihan pada bidang personalia dan target utama untuk upaya derregulasi dari NPR: FPM baru diresmikan pada bulan Januari 1994.
Dalam membangun dari banyaknya penghapusan FPM yang digembor-gemborkan, orang akan berpikir bahwa badan-badan dan manajer federal akan lega dengan pembebasan baru mereka. Ini mungkin terjadi sebagai kejutan untuk mempelajari bahwa banyak contoh justru sebaliknya telah terbukti benar: agen-agen federal telah berkelana ke tumpukan sampah administrasi, membersihkan dari FPM dan mengklaim itu sebagai milik mereka (peters, 1996: 94). Kita hanya bisa berspekulasi apakah ini terjadi dalam pengaturan lain di mana deregulasi telah terjadi, tetapi kemungkinan tetap ada. Menghilangkan peraturan di satu tingkat (kantor personalia pusat) hanya untuk mendirikan di lain (lembaga line) tentu bukan merupakan jenis deregulasi yang dibayangkan oleh para deregulator.
Memahami mengapa beberapa manajer benci untuk melaksanakan kebijaksanaan derregulasi dapat dipahami dengan mempertimbangkan sifat manajer dan manajemen publik. Beberapa manajer publik, cukup sederhana, mungkin lebih nyaman bahwa orang lain yang merubah kebijakan (Ban, 1995). Manajer mengaku merasa malu bahwa mereka seperti  "bersembunyi di balik aturan" karena adanya keamanan dan kepastian aturan-aturan (Facer, 1998; Peters, 1996). Penghindaran risiko semacam itu dipahami bila kita menganggap kurangnya insentif manajer publik harus mengambil kesempatan (misalnya ketidakcakapan dalam skema gaji sesuai dengan pekerjaan, lihat Kearney dan Hays, 1998) dan pengamatan bahwa kesalahan administratif dapat berakibat fatal bagi karier administrator publik (Romzek, 1998)
Dari sini, jelas bahwa aturan dan peraturan personalia tidak berarti manajer publik akan bertindak dengan cara-cara dibayangkan oleh para deregulator. Oleh karena itu, masalah yang sebenarnya mungkin tidak hanya perubahan fungsi personalia, tapi juga manajer memberikan insentif untuk benar-benar memanfaatkan kebijaksanaan untuk menghasilkan deregulasi.

DAFTAR PUSTAKA
SCORE. 2013. Modul Empat : Manajemen Sumber Daya Manusia (untuk Kerjasama dan Usaha yang Sukses). Jakarta : ILO.

Tangkilisan, Johnly Harly. 2013. Pengembangan SDM Aparatur Dan Sistem Diklat Berbasis Kompetensi. Diakses melalui http://tangkilisanharly.blogspot.com (9 Oktober 2014).

Cara Sukses Menjadi Mahasiswa Yang Berkualitas dan Berdaya Saing

Versi Celine Santoso
Mahasiswa yang berkualitas dan berdaya saing merupakan dambaan setiap mahasiswa. Sayangnya banyak sekali yang tidak mengetahui tips dan trik untuk mewujudkannya.  Bahkan ada pula yang telah melakukan berbagai upaya tetapi tetap stuck menjadi mahasiswa yang dapat dikatakan kurang berkualitas. Kualitas seorang mahasiswa memang dinilai berdasarkan persepsi masing-masing individu tapi bila dapat digeneralisasikan bahwa Mahasiswa yang berkualitas dan berdaya saing adalah karakteristik mahasiswa yang orientasi tindakannya bukan hanya sekadar mengisi tanda tangan kehadiran perkuliahan, melainkan memiliki orientasi yang jelas dalam hidupnya. Berikut adalah beberapa tips dan trik yang mungkin dapat dicoba yang minimal dapat menjadikan diri kita (para mahasiswa) lebih baik lagi.
a. Perjelas Niat dan tentukan prioritas Utama
Bagi mahasiswa baru niat kuliah masih berkobar dan menggebu-gebu, sedangkan mahasiswa yang telah cukup senior alias bersemester tua tentunya memilki gairah yang berbeda. Hal ini dikarenakan banyaknya mahasiswa yang mulai ‘bosan” dan tak jarang pula yang berani dengan namanya titip presensi. Jikalau ditelusuri lebih lanjut, faktor utamanya adalah kurang kuatnya “niat” dan tidak adanya “priortas utama” dalam rencana kegiatannya. Saya tidak menyarankan untuk menuliskan jadwal kegiatan sehari-hari, melainkan saya menyarankan untuk memperjelas niat dan menentukan prioritas utama. Niat adalah landasan utama untuk semua kegiatan kita. Misalnya : Niat kuliah adalah segera mendapatkan gelar sarjana sehingga dapat membantu keuangan keluarga. Niat itu kita tanamkan dalam pikiran dan hati kita, yang mana saat kita lelah dan mengalami kebosanan, maka ingatlah niat kita. Ini adalah contoh sederhananya karena saya tipikal orang yang tidak mendiskriminasi niat atau tujuan utama dari masing-masing mahasiswa.
b. Doa dan restu dari orang-orang yang menyayangi kita
Bagi mahasiswa tentu telah mengetahui betapa mujarabnya sebuah doa, tak lain bahwa doa tidak hanya membantu Tuhan merubah takdir kita, tetapi juga doa dapat menenangkan hati. Selain itu, restu dari orang-orang yang menyayangi kita, restu ini bukan hanya diperuntukan bagi mahasiswa rantau karena setiap mahasiswa seharusnya telah mengerti kepada siapa dia meminta izin. Bila ada yang telah kehilangan orangtua/keluarganya, maka setidaknya minta restu pada sahabat atau teman, bila tak memiliki teman dan keluarga, maka minimal mintalah restu pada Tuhan.
c. Uptodate dan Open Minded
Uptodate disinilah adalah penggunaan teknologi dengan bijakasana. Sosial media dan internet bukan lagi menjadi barang asing, namun penggunaannya masih sederhana yaitu hanya untuk berteman. Sosial media sekarang telah dilengkapi berbagi aplikasi dan fanpage dari berita-berita lokal maupun internasional, maka setidaknya mahasiswa tidak hanya kepo (mau tahu) dengan cowok/cewek keren, mulailah penasaran dengan berita terkini. Selain itu, mahasiswa haruslah Open minded dengan segala kondisi, janganlah bersifat subjektif. Open minded dapat pula didapatkan dari kegiatan-kegiatan penunjang seperti training education  dan diskusi panel..
d. Aktivitas lain adalah Sampingan
Saya membuat slogan “Aktivitas lain adalah Sampingan” begini karena banyak sekali kalangan mahasiswa yang bolos perkuliahan karena kegiatan diluar kuliah.
e. Refreshing
Mahasiswa yang baik adalah mahasiswa yang tidak hanya berkutat dengan tugas perkuliahan dan kegiatan kampus, tetapi juga mereka yang tahu kapan dan dimana mereka harus menyegarkan diri agar tidak mengalami titik jenuh.

PROMOSI (KENAIKAN PANGKAT)

       I.            KONSEP KENAIKAN PANGKAT
Ada dua sudut pandang kenaikan pangkat, yakni :
1.      Konsep posisi. Kenaikan pangkat adalah suatu proses perubahan dari satu posisi ke poisi lain yang lebih tinggi dan/atau dari gaji rendah ke gaji yang lebih tinggi, didalam dinas yang sama.
2.      Konsep pangkat. Promosi adalah suatu kenaikan dari suatu pangkat ke perangkat yang lebih tinggi dalam jabatan yang sama atau jabatan yang lebih tinggi.
Tujuan kenaikan pangkat, antara lain :
-          Memperbaiki tingkat kompetensi kerja pegawai,
-          Melengkapi organisasi yang bersangkutan dengan pegawai yang benar-benar cakap dan kemampuan yang lebih tinggi (lebih besar),
-          Sebagai salah satu bentuk insentif atau pendorong agar pegawai meningkatkan prestasi dan kemampuan kerja,
-          Sebagai salah satu usaha untuk memperbaiki moral pegawai.
Prinsip-prinsip kenaikan pangkat, antara lain :
-          Memberikan perlakuan yang sama pada setiap pegawai,
-          Melakukan seleksi yang tepat sehingga yang cakap yang dipromosikan.

    II.            MACAM DAN SISTEM KENAIKAN PANGKAT
Ada tiga macam sistem kenaikan pangkat, yaitu :
a.      Regular. Kenaikan pangkat yang diperuntukkan semua pegawai yang memenuhi persyaratan.
b.      Pilihan. Kenaikan pangkat tidak untuk semua pegawai, yang mana dipilih berdasarkan prestasi dan memenuhi persyaratan lainnya.

c.       Pengabdian.

PENILAIAN KERJA PEGAWAI

        I.            KONSEP DAN INDIKATOR KINERJA
Secara umum kinerja merupakan prestasi yang dapat dicapai oleh organisasi dalam periode tertentu. Prestesi tersebut merupakan efektivitas operasional organisasi baik dilihat dari sudut pandang keuangan (financial view) dan terutama pada sisi manajemen (management view). Manfaat pengukuran kinerja bagi organisasi, yakni :
-         Meningkatkan kualitas produk dan jasa.
-         Menjamin pelaksanakan dan implementasi akuntabilitas dan kontrol.
-         Meningkatkan praktek manajemen.
-         Memformulasikan kebijakan.
-         Menyiapkan rencana dan anggaran
-         Menyiapkan kemampuan akses atas produk dan jasa yang dihasilkan organisasi.
Ada enam indikator kinerja, antara lain :
a.      Indikator masukan (inputs) : segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Indikator ini berupa : dana, SDM, informasi, kebijaksanaan/peraturan, dsb.
b.      Indikator proses (process) : segala besaran yang menunjukkan upaya yang dilakukan dalam rangka mengolah masukan menjadi keluaran.
c.       Indikator keluaran (output) : segala sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan/atau nonfisik
d.      Indikator hasil (outcome) : segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pad jangka menengah (efek langsung).
e.      Indikator manfaat (benefits) : sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan. Indikator ini menggambarkan manfaat yang diperoleh dari indikator hasil.
f.        Indikator dampak (impacts) : sesuatu yang terkait dengan akibat dari manfaat.

     II.            DP3 (daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan pegawai)
DP3 adalah suatu daftar yang memuat suatu penilaian pelaksanaan bagi seorang pegawai dalam jangka waktu satu tahun yang dibuat oleh pejabat penilai. Tujuan dari DP3 antara lain :
-         Untuk memperoleh bahan-bahan pertimbangan yang objektif dalam pembinaan pegawai.
-         Sebagai bahan dalam pelaksanaan pembinaan pegawai seperti dalam mempertimbangkan kenaikan pangkat, pemindahan dan kenaikan gaja berkala.

Waktu penilaian adalah setiap akhir tahun, jangka waktu penilaian adalah mulai januari sampai desember tahun yang bersangkutan. Unsur-unsur yang dinilai dalam DP3 yakni kesetiaan, prestasi kerja, tanggungjawab, ketaatan, kejujuran, kerjasama, Prakarsa dan kepemimpinan. Sifat DP3 adalah rahasia, yaitu hanya dapat diketahui oleh pegawai yang bersangkutan, pejabat penilai, atasan pejabat penilai, pejabat penilai tertinggi dan pejabat yang ada hubungan tugas dengan penilaian.